Tugas
ke 6 : Apa itu Staatsnoodrecht?
Bagaimana pelaksanaannya? Kapan harus
dilaksanakan?
DOSEN
: Prof. Alex A. Koroh
Hari/Tanggal : Senin, 19 November 2012
Ketika terjadi peristiwa G.30 S/PKI, maka setelah
itu penguasa menetapkan berlakunya Hukum Darurat Negara. Dalam perspektif
teoritis, dikenal adanya Hukum Tata Negara Darurat.
Ketika negara dalam keadaan normal kewenangan
penyelenggara negara berbeda dengan dalam hal negara dalam keadaan tidak normal
atau negara dalam keadaan bahaya / darurat. Dalam keadaan darurat / bahaya ada
rangkaian pranata atau wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya
yang mengancam, kembali kedalam kehidupan biasa atau kehidupan normal.
Unsur yang terutama harus ada dalam Hukum Tata
Negara Darurat adalah :
1. Adanya
bahaya negara yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa.
2. Upaya
biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan menanggapi dan
menanggulangi bahaya yang ada.
3. Kewenangan
luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada Pemerintah Negara untuk
secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali kepada kehidupan normal.
4. Wewenang
luar biasa itu da Hukum Tata Negara Darurat itu adalah untuk sementara waktu
saja, sampai keadaan darurat itu dipandang tidak membahayakan lagi.
Keadaan
bahaya dengan upaya luar biasa itu dikemukakan beberapa pendirian atau faham,
yakni harus ada keseimbangan antara bahaya dengan upaya, supaya kewenangan itu
tidak berlebihan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang besar tersebut.
Paham
yang dikembangkan dan diuarikan oleh Mr. Van Dullmen terutama setelah Perang
Dunia II selesai ialah bagaimana supaya dalam keadaan bahaya (staatsnoodrecht) hak-hak
asasi manusia dapat dihargai secara patut sebagaimana laykanya, demikian juga
UUD dan hukum lain dimana mungkin tidak dihapuskan seluruhnya melainkan dalam
waktu singkat dan sementara saja dan bukan untuk selamanya.
Yang
dimaksud dengan daya upaya luar biasa untuk menghadapi bahaya dalam tingkatan
bahaya itu adalah beberapa wewenang dan hak penguasa bahaya maupun pranata atau
peraturan bahaya yang timbul itu dapat dihadapi dan jika dapat supaya dalam
waktu singkat bahaya atau ancaman bahaya itu dapat dihapuskan dengan upaya luar
biasa tersebut.
Mengenai
keadaan bahaya dengan upaya luar biasa itu ada beberapa pendirian atau faham,
yakni harus ada keseimbangan antara bahaya dengan upaya, supaya kewenangan itu
tidak berlebihan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang besar.
Tindakan-tindakan
penguasa pada waktu negara dalam pasal 37 ayat (1) UU No. 23 Prp. Tahun 1959 :
Penguasa perang berhak mengambil atau memakai barang-barang semacam apapun juga
langsung untuk kepentingan keamanan atau pertahanan.
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi peraturan darurat, yaitu :
1. Kepentingan
tertinggi negara yakni adanya atau eksistensi negara itu sendiri.
2. Peraturan
darurat itu harus mutlak atau sangat perlu.
3. Noodregeling
itu bersifat sementara provosir, selama keadaan masih darurat saja, sesudah itu
diperlukan aturan biasa yang normal dan tidak lagi aturan darurat yang berlaku.
4. Ketika
dibuat peraturan darurat itu Dewan Perwakilan Rakyat atau Perwakilan Rakyat
tidak dapat mengadakan sidang atau rapat secara nyata dan sungguh.
Faham keseimbangan yang dikemukakan negara dalam
keadaan bahaya (staatsnoodrecht), yakni seimbang antara bahaya dengan
upaya yang dipakai guna menghapuskan atau menghadapi bahaya itu. Agar teori itu
dipergunakan juga dalam hal noodtoestand dan overmacht, dalam
melakukan pembelaan terpaksa (noodzakalijke verdediging) sesungguhnya
amat sukar dan dalam praktek hampir kurang dimengerti penggunaannya. Daya upaya
itu harus lebih kuat dan lebih besar untuk digunakan menghadapi bahaya atau
darurat itu, sebab jika tidak maka bahaya sukar untuk dilenyapkan atau
dihapuskan.
Hukum Tata Negara Darurat itu tidak
boleh ditafsirkan terlalu luas, sebab maksud utama Hukum
Tata Negara Darurat itu adalah menghapuskan bahaya darurat,
dan dengan usaha secepatnya mengembalikan keadaan damai dan normal dari bahaya
itu. Pada prinsipnya tidak ada seorangoun suka dalam bahaya atau darurat, semua
orang suka dalam keadaan normal, aman / damai dan bukan dalam keadaan bahaya.
Pembatasan-pembatasan seperti syarat yang dikemukakan oleh Mr.Van Dullemen itu
selain sifatnya umum juga berlaku menurut sistem umum Ketatanegaraan dalam
negara bersangkutan, yaitu dapat membatasi hak-hak asasi, juga hak-hak sosial
dan hak lain dari warga negara dan hak-hak individual lainnya. Supaya Hukum Tata Negara Darurat dapat
dijalankan secara efektif untuk dapat memenuhi fungsi dan tujuan utamanya,
yakni sedapat-dapatnya dalam waktu sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan
bahaya kembali kedalam keadaan biasa, maka itulah tujuan utama Hukum Darurat
Negara. Tujuan utama Hukum Tata Negara Darurat agar dala waktu sesingkat-singkatnya
kembali kedalam negara dalam keadaan normal. Tujuan inilah yang sering
dilupakan ole penguasa, dalam arti berlama-lama dalam keadaan bahaya karena
adanya tujuan tertentu.
Maklumat Gus Dur tertanggal 22 Juli 2001 itu pada
hakikatnya adalah dekrit sebagaimana Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959.
Kedua dekrit itu dikeluarkan berdasar teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht).
Lebih spesifik, keduanya berlandaskan teori hukum darurat negara yang bersifat
subyektif dan tidak tertulis (subjectieve staatsnoodrecht atau ongeschreven
staatsnoodrecht).
Artinya, klasifikasi negara dalam keadaan darurat yang
menjadi syarat keluarnya dekrit, ditetapkan menurut pendapat subyektif presiden
pribadi selaku kepala negara, tanpa berdasar ketentuan hukum per-undangan.
Karena itu, dekrit adalah produk hukum yang istimewa dan merupakan penyimpangan
mendasar dari fungsi presiden yang melaksanakan hukum (eksekutif), menjadi
fungsi presiden selaku pembuat hukum (legislatif). Asas hukum yang mendasari
penyimpangan itu adalah: masa (situasi) yang tidak normal, harus dihadapi
dengan hukum yang tidak normal pula (abnormale recht voor abnormale tijd).
Lebih dari itu, isi dekrit pun "wajib"
bertentangan dengan konstitusi atau dimaksudkan sebagai tindakan
ekstrakonstitusional. Bila tidak, urgensi format dekrit menjadi tidak perlu dan
presiden cukup mengeluarkan hukum darurat semacam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perpu) sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan
Undang-Undang Keadaan Bahaya yang memuat secara tertulis kriteria-kriteria
obyektif hukum darurat negara (objectieve staatsnoodrecht atau geschreven
staatsnoodrecht).
Karena sifat keistimewaan dan penyimpangan itulah maka,
dekrit hanya dapat berujung pada dua kemungkinan, penyelamatan negara
sebagaimana tujuannya atau sebaliknya hancurnya negara karena lahirnya
pemerintahan baru yang otoriter. Keselamatan negara akan terwujud bila
subyektivitas presiden dalam mengukur negara dalam keadaan bahaya betul-betul
didasarkan pada kondisi nyata ancaman bahaya dan lepas dari kepentingan politik
sang presiden sendiri. Sebaliknya, bila kepentingan-kepentingan pribadi
presiden mendominasi alasan keluarnya dekrit, maka dekrit itu akan menjelma
menjadi upaya politisasi negara darurat hukum untuk kepentingan politik
presiden semata.
Indikator bahwa dekrit semata-mata dikeluarkan karena
negara dalam kondisi benar-benar genting adalah bila dekrit itu memenuhi dua
syarat utama. Pertama, merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk
menyelamatkan negara dalam keadaan bahaya (absolutely necessary in the
interest of the nation) dan; Kedua, harus memenuhi teori keseimbangan (evenwichtstheorie)
antara bahaya yang datang dengan tindakan dan isi dekrit yang dikeluarkan.
Yang paling memenuhi kedua indikator itu adalah bila negara
dalam keadaan bahaya karena perang atau negara darurat karena bencana alam.
Kedua kondisi itulah yang sebaiknya merupakan kriteria perlunya dikeluarkan
dekrit. Di luar kedua kondisi itu, sifat alamiah kekuasaan cenderung
mengontaminasi niat baik dekrit untuk penyelamatan negara, menjadi penyelamatan
kekuasaan penguasa belaka.
SUMBER :
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F28123/... (Denny Indrayana SH, LLM
Staf Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar