Jumat, 12 April 2013

Tugas 6 Sejarah Indonesia V "Staatsnoodrecht (Hukum Tata Negara Darurat)"

Tugas ke 6       : Apa itu Staatsnoodrecht? Bagaimana pelaksanaannya? Kapan harus
dilaksanakan?
DOSEN          : Prof. Alex A. Koroh
Hari/Tanggal   : Senin, 19 November 2012
Ketika terjadi peristiwa G.30 S/PKI, maka setelah itu penguasa menetapkan berlakunya Hukum Darurat Negara. Dalam perspektif teoritis, dikenal adanya Hukum Tata Negara Darurat.
Ketika negara dalam keadaan normal kewenangan penyelenggara negara berbeda dengan dalam hal negara dalam keadaan tidak normal atau negara dalam keadaan bahaya / darurat. Dalam keadaan darurat / bahaya ada rangkaian pranata atau wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, kembali kedalam kehidupan biasa atau kehidupan normal.
Unsur yang terutama harus ada dalam Hukum Tata Negara Darurat adalah :
1.      Adanya bahaya negara yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa.
2.      Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada.
3.      Kewenangan luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada Pemerintah Negara untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali kepada kehidupan normal.
4.      Wewenang luar biasa itu da Hukum Tata Negara Darurat itu adalah untuk sementara waktu saja, sampai keadaan darurat itu dipandang tidak membahayakan lagi.
Keadaan bahaya dengan upaya luar biasa itu dikemukakan beberapa pendirian atau faham, yakni harus ada keseimbangan antara bahaya dengan upaya, supaya kewenangan itu tidak berlebihan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang besar tersebut.
Paham yang dikembangkan dan diuarikan oleh Mr. Van Dullmen terutama setelah Perang Dunia II selesai ialah bagaimana supaya dalam keadaan bahaya (staatsnoodrecht) hak-hak asasi manusia dapat dihargai secara patut sebagaimana laykanya, demikian juga UUD dan hukum lain dimana mungkin tidak dihapuskan seluruhnya melainkan dalam waktu singkat dan sementara saja dan bukan untuk selamanya.
Yang dimaksud dengan daya upaya luar biasa untuk menghadapi bahaya dalam tingkatan bahaya itu adalah beberapa wewenang dan hak penguasa bahaya maupun pranata atau peraturan bahaya yang timbul itu dapat dihadapi dan jika dapat supaya dalam waktu singkat bahaya atau ancaman bahaya itu dapat dihapuskan dengan upaya luar biasa tersebut.
Mengenai keadaan bahaya dengan upaya luar biasa itu ada beberapa pendirian atau faham, yakni harus ada keseimbangan antara bahaya dengan upaya, supaya kewenangan itu tidak berlebihan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang besar.
Tindakan-tindakan penguasa pada waktu negara dalam pasal 37 ayat (1) UU No. 23 Prp. Tahun 1959 : Penguasa perang berhak mengambil atau memakai barang-barang semacam apapun juga langsung untuk kepentingan keamanan atau pertahanan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi peraturan darurat, yaitu :
1.      Kepentingan tertinggi negara yakni adanya atau eksistensi negara itu sendiri.
2.      Peraturan darurat itu harus mutlak atau sangat perlu.
3.      Noodregeling itu bersifat sementara provosir, selama keadaan masih darurat saja, sesudah itu diperlukan aturan biasa yang normal dan tidak lagi aturan darurat yang berlaku.
4.      Ketika dibuat peraturan darurat itu Dewan Perwakilan Rakyat atau Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang atau rapat secara nyata dan sungguh.
Faham keseimbangan yang dikemukakan negara dalam keadaan bahaya (staatsnoodrecht), yakni seimbang antara bahaya dengan upaya yang dipakai guna menghapuskan atau menghadapi bahaya itu. Agar teori itu dipergunakan juga dalam hal noodtoestand dan overmacht, dalam melakukan pembelaan terpaksa (noodzakalijke verdediging) sesungguhnya amat sukar dan dalam praktek hampir kurang dimengerti penggunaannya. Daya upaya itu harus lebih kuat dan lebih besar untuk digunakan menghadapi bahaya atau darurat itu, sebab jika tidak maka bahaya sukar untuk dilenyapkan atau dihapuskan.
Hukum Tata Negara Darurat itu tidak boleh ditafsirkan terlalu luas, sebab maksud utama Hukum Tata Negara Darurat itu adalah menghapuskan bahaya darurat, dan dengan usaha secepatnya mengembalikan keadaan damai dan normal dari bahaya itu. Pada prinsipnya tidak ada seorangoun suka dalam bahaya atau darurat, semua orang suka dalam keadaan normal, aman / damai dan bukan dalam keadaan bahaya. Pembatasan-pembatasan seperti syarat yang dikemukakan oleh Mr.Van Dullemen itu selain sifatnya umum juga berlaku menurut sistem umum Ketatanegaraan dalam negara bersangkutan, yaitu dapat membatasi hak-hak asasi, juga hak-hak sosial dan hak lain dari warga negara dan hak-hak individual lainnya. Supaya Hukum Tata Negara Darurat dapat dijalankan secara efektif untuk dapat memenuhi fungsi dan tujuan utamanya, yakni sedapat-dapatnya dalam waktu sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan bahaya kembali kedalam keadaan biasa, maka itulah tujuan utama Hukum Darurat Negara. Tujuan utama Hukum Tata Negara Darurat agar dala waktu sesingkat-singkatnya kembali kedalam negara dalam keadaan normal. Tujuan inilah yang sering dilupakan ole penguasa, dalam arti berlama-lama dalam keadaan bahaya karena adanya tujuan tertentu.
Maklumat Gus Dur tertanggal 22 Juli 2001 itu pada hakikatnya adalah dekrit sebagaimana Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Kedua dekrit itu dikeluarkan berdasar teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Lebih spesifik, keduanya berlandaskan teori hukum darurat negara yang bersifat subyektif dan tidak tertulis (subjectieve staatsnoodrecht atau ongeschreven staatsnoodrecht).
Artinya, klasifikasi negara dalam keadaan darurat yang menjadi syarat keluarnya dekrit, ditetapkan menurut pendapat subyektif presiden pribadi selaku kepala negara, tanpa berdasar ketentuan hukum per-undangan. Karena itu, dekrit adalah produk hukum yang istimewa dan merupakan penyimpangan mendasar dari fungsi presiden yang melaksanakan hukum (eksekutif), menjadi fungsi presiden selaku pembuat hukum (legislatif). Asas hukum yang mendasari penyimpangan itu adalah: masa (situasi) yang tidak normal, harus dihadapi dengan hukum yang tidak normal pula (abnormale recht voor abnormale tijd).
Lebih dari itu, isi dekrit pun "wajib" bertentangan dengan konstitusi atau dimaksudkan sebagai tindakan ekstrakonstitusional. Bila tidak, urgensi format dekrit menjadi tidak perlu dan presiden cukup mengeluarkan hukum darurat semacam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang memuat secara tertulis kriteria-kriteria obyektif hukum darurat negara (objectieve staatsnoodrecht atau geschreven staatsnoodrecht).
Karena sifat keistimewaan dan penyimpangan itulah maka, dekrit hanya dapat berujung pada dua kemungkinan, penyelamatan negara sebagaimana tujuannya atau sebaliknya hancurnya negara karena lahirnya pemerintahan baru yang otoriter. Keselamatan negara akan terwujud bila subyektivitas presiden dalam mengukur negara dalam keadaan bahaya betul-betul didasarkan pada kondisi nyata ancaman bahaya dan lepas dari kepentingan politik sang presiden sendiri. Sebaliknya, bila kepentingan-kepentingan pribadi presiden mendominasi alasan keluarnya dekrit, maka dekrit itu akan menjelma menjadi upaya politisasi negara darurat hukum untuk kepentingan politik presiden semata.
Indikator bahwa dekrit semata-mata dikeluarkan karena negara dalam kondisi benar-benar genting adalah bila dekrit itu memenuhi dua syarat utama. Pertama, merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan negara dalam keadaan bahaya (absolutely necessary in the interest of the nation) dan; Kedua, harus memenuhi teori keseimbangan (evenwichtstheorie) antara bahaya yang datang dengan tindakan dan isi dekrit yang dikeluarkan.
Yang paling memenuhi kedua indikator itu adalah bila negara dalam keadaan bahaya karena perang atau negara darurat karena bencana alam. Kedua kondisi itulah yang sebaiknya merupakan kriteria perlunya dikeluarkan dekrit. Di luar kedua kondisi itu, sifat alamiah kekuasaan cenderung mengontaminasi niat baik dekrit untuk penyelamatan negara, menjadi penyelamatan kekuasaan penguasa belaka.

SUMBER :
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F28123/... (Denny Indrayana SH, LLM Staf Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar